DHAMMAPADA XXVI, 2
Pada suatu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A. Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut.
Pertanyaannya berbunyi demikian, "Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma?"
Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab, "Sariputta! 'Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan Terang' adalah dua Dhamma tersebut".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut:
Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua jalan semadi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan Terang), maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya. Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas dari semua ikatan.
Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
pelita dhamma
Senin, 21 Februari 2011
Kisah Brahma yang Memiliki Keyakinan Kuat
DHAMMAPADA XXVI, 1
Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya.
Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut:
O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, 'Yang Tidak Terciptakan'.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya.
Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut:
O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, 'Yang Tidak Terciptakan'.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Samanera Sumana
DHAMMAPADA XXV, 23
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari Danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya.
Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa Beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari Danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari Danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari Danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke Danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut:
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari Danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya.
Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa Beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari Danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari Danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari Danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke Danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut:
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Vakkali Thera
DHAMMAPADA XXV, 22
Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.
Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya".
Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.
Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat Bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.
Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.
Kepadanya Sang Buddha membabarkan syair 381 berikut:
Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana) disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.
Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya".
Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.
Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat Bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.
Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.
Kepadanya Sang Buddha membabarkan syair 381 berikut:
Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana) disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Orang Kaya yang tidak Memiliki Anak
DHAMMAPADA XXIV, 22
Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris, sehingga ia harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Raja berkata perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir.
Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai ujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.
Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi izin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkuk makanannya.
Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik".
Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia. Tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridNya. Sesungguhnya ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 355 berikut:
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari 'Pantai Seberang' (nibbana). Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan, orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri, dan juga akan menghancurkan orang lain.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris, sehingga ia harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Raja berkata perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir.
Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai ujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.
Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi izin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkuk makanannya.
Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik".
Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia. Tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridNya. Sesungguhnya ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 355 berikut:
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari 'Pantai Seberang' (nibbana). Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan, orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri, dan juga akan menghancurkan orang lain.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Langganan:
Postingan (Atom)