Senin, 21 Februari 2011
Kisah Tiga Puluh Bhikkhu
Pada suatu kesempatan, tiga puluh bhikkhu datang memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Y.A. Sariputta, yang mengetahui bahwa waktu itu adalah saat yang matang dan sesuai bagi para bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat, mendekati Sang Buddha dan bertanya, semata-mata hanya untuk kepentingan para bhikkhu tersebut.
Pertanyaannya berbunyi demikian, "Apakah yang dimaksud dengan dua Dhamma?"
Terhadap pertanyaan demikian, Sang Buddha menjawab, "Sariputta! 'Meditasi Ketenangan dan Meditasi Pandangan Terang' adalah dua Dhamma tersebut".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 384 berikut:
Bila seorang brahmana telah mencapai akhir daripada dua jalan semadi (pelaksanaan Meditasi Ketenangan dan Pandangan Terang), maka semua belenggu akan terlepas dari dirinya. Karena mengerti dan telah memiliki pengetahuan, ia bebas dari semua ikatan.
Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Brahma yang Memiliki Keyakinan Kuat
Suatu ketika, di Savatthi, hidup seorang brahmana yang sangat setia kepada Sang Buddha dan Ajaran-Nya. Setelah mendengar khotbah yang diberikan Sang Buddha, setiap hari, ia mengundang para bhikkhu datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Ketika para bhikkhu telah sampai di rumahnya, ia memperlakukan mereka seperti arahat dan dengan hormat mempersilakan mereka untuk memasuki rumahnya.
Mendapat perlakuan demikian, bhikkhu-bhikkhu yang masih belum mencapai tingkat kesucian (puthujjana) maupun bhikkhu-bhikkhu arahat merasa enggan hati dan memutuskan untuk tidak pergi ke rumah brahmana tersebut keesokan harinya.
Ketika brahmana tersebut mengetahui bahwa para bhikkhu tidak lagi datang ke rumahnya, ia merasa tidak bahagia. Ia pergi menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau tentang para bhikkhu yang tidak lagi datang ke rumahnya. Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan meminta penjelasan. Para bhikkhu mengatakan kepada Sang Buddha bahwa brahmana tersebut memperlakukan mereka semua seperti arahat.
Sang Buddha kemudian bertanya kepada mereka, apakah mereka merasa bangga dan senang ketika mereka diperlakukan seperti itu. Para bhikkhu menjawab tidak.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "O, para bhikkhu, jika engkau tidak merasa bangga dan senang ketika diperlakukan seperti arahat, maka engkau tidak bersalah melanggar peraturan disiplin para bhikkhu yang manapun. Kenyataan brahmana tersebut memperlakukan engkau demikian karena ia sangat setia kepada para arahat. Jadi, murid-Ku, engkau harus berjuang keras mengurangi nafsu keinginan dan mencapai tingkat kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 383 berikut:
O, brahmana, berusahalah dengan tekun memotong arus keinginan dan singkirkanlah nafsu-nafsu indria. Setelah mengetahui penghancuran segala sesuatu yang berkondisi, O brahmana, engkau akan merealisasi nibbana, 'Yang Tidak Terciptakan'.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Samanera Sumana
Samanera Sumana adalah murid dari Anuruddha Thera. Meskipun ia baru berusia tujuh tahun, tetapi ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, dan memiliki kemampuan batin luar biasa. Suatu saat, ketika gurunya Anuruddha Thera, jatuh sakit di vihara yang berada di lereng pegunungan Himalaya, ia mengambil air dari Danau Anotatta yang jauhnya lima ratus yojana dari vihara. Perjalanan itu tidak dilakukan dengan jalan darat, tetapi melalui jalan udara (terbang) berkat kemampuan batin luar biasanya.
Suatu hari, Anuruddha Thera membawa Samanera Sumana menghadap Sang Buddha, yang saat itu sedang berdiam di Vihara Pubbarama, sebuah vihara persembahan Visakha.
Di sana, para bhikkhu muda dan samanera mengganggu Samanera Sumana, dengan menepuk kepalanya, memegang telinganya, hidungnya, tangannya, dan bersenda gurau menanyakan apakah ia tidak merasa bosan. Sang Buddha melihat mereka, dan berpikir bahwa akan menunjukkan kepada para bhikkhu suatu kualitas luar biasa dari Samanera Sumana yang masih muda.
Sudah direncanakan oleh Sang Buddha bahwa Beliau berharap beberapa samanera mengambil air satu guci dari Danau Anotatta. Y.A. Ananda mencari di antara para bhikkhu dan samanera yang berdiam di Vihara Pubbarama yang dapat melakukan pekerjaan itu, tetapi tidak ada satupun yang dapat melaksanakan tugas itu. Akhirnya, Y.A. Ananda meminta Samanera Sumana yang telah siap untuk mengambil air dari Danau Anotatta.
Ia mengambil sebuah guci emas besar milik vihara dan segera membawa air dari Danau Anotatta untuk Sang Buddha. Seperti hal sebelumnya, ia pergi ke Danau Anotatta dan kembali ke vihara melalui jalan udara berkat kemampuan batin luar biasanya.
Pada saat pertemuan para bhikkhu sore hari, para bhikkhu bercerita kepada Sang Buddha perihal perjalanan luar biasa yang telah dilakukan oleh Samanera Sumana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seseorang yang melaksanakan Dhamma dengan tekun dan bersemangat, akan dapat memiliki kemampuan batin luar biasa meskipun usianya masih muda".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 382 berikut:
Walaupun seorang bhikkhu masih berusia muda, namun bila ia tekun menghayati ajaran Sang Buddha, maka ia akan menerangi dunia ini, bagaikan bulan yang terbebas dari awan.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Vakkali Thera
Vakkali adalah seorang brahmana yang tinggal di Savatthi. Suatu hari ia melihat Sang Buddha berpindapatta di dalam kota. Ia sangat terkesan dengan kemuliaan Sang Buddha. Pada saat itu ia menjadi sangat tertarik dan hormat kepada Sang Buddha. Ia memohon izin untuk diterima dalam Pasamuan Bhikkhu sehingga ia dapat selalu dekat dengan Sang Buddha.
Sebagai seorang bhikkhu, Vakkali selalu dekat dengan Sang Buddha, ia tidak memperhatikan tugas kewajibannya sebagai bhikkhu lagi, dan tidak berlatih meditasi.
Karena itu Sang Buddha berkata kepadanya, "Vakkali, tidak akan bermanfaat bagimu yang selalu dekat dengan-Ku, memperhatikan wajah-Ku. Kamu harus berlatih meditasi, sebab hanya ia yang melihat Dhamma akan melihat Saya. Ia yang tidak melihat Dhamma tidak akan melihat Saya".
Ketika mendengar kata-kata itu Vakkali sangat tertekan.
Ia meninggalkan Sang Buddha dan memanjat Bukit Gijjhakuta untuk melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari puncak bukit.
Sang Buddha mengetahui kesedihan dan keputusasaan Vakkali. Karena sedih dan putus asa itu Vakkali akan melepaskan kesempatan memperoleh tingkat kesucian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengirimkan bayangan Beliau kepada Vakkali, membuat seolah-olah Beliau berada di hadapannya. Ketika Sang Buddha berada dekat dengannya, segera Vakkali melupakan segala kesedihannya, ia menjadi sangat gembira, dan yakin.
Kepadanya Sang Buddha membabarkan syair 381 berikut:
Dengan penuh kegembiraan dan penuh keyakinan terhadap ajaran Sang Buddha, seorang bhikkhu akan sampai pada keadaan damai (nibbana) disebabkan oleh berakhirnya semua ikatan.
Vakkali mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Orang Kaya yang tidak Memiliki Anak
Suatu ketika, Raja Pasenadi dari Kosala datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa ia terlambat datang karena pada pagi hari itu seorang kaya telah meninggal dunia di Savatthi tanpa meninggalkan ahli waris, sehingga ia harus mengambil alih semua kekayaan orang itu. Raja berkata perihal orang itu, yang meskipun sangat kaya namun sangat kikir.
Saat orang itu masih hidup, ia tidak pernah memberikan apapun sebagai ujud kemurahan hati. Ia menolak untuk membelanjakan uangnya bahkan untuk dirinya sendiri, dan karenanya, makan sangat hemat serta mengenakan pakaian dari kain yang kasar dan murah. Mendengar hal ini Sang Buddha menceritakan kepada raja serta para pengiringnya tentang orang itu pada saat kehidupannya yang lampau. Dalam kehidupannya itu ia juga seorang kaya.
Suatu hari ketika seorang Paccekabuddha datang dan berdiri untuk berpindapatta di depan rumahnya. Ia berkata pada istrinya untuk mempersembahkan sesuatu kepada Paccekabuddha. Istrinya berpikir sangat jarang suaminya memberi izin untuk memberikan sesuatu pada orang lain. Maka istrinya mengisi penuh mangkok beliau dengan makanan. Orang kaya tersebut sekali lagi bertemu dengan Paccekabuddha tersebut dalam perjalanan pulang ke rumah dan ia melihat pada mangkuk makanannya.
Mengetahui bahwa istrinya telah mempersembahkan makanan yang baik dalam jumlah banyak, ia berpikir, "Oh, bhikkhu ini hanya akan tidur nyenyak setelah makan enak. Akan lebih baik bila pelayan-pelayanku yang diberi makanan sebaik itu. Paling tidak, mereka akan memberiku pelayanan yang lebih baik".
Dengan kata lain, ia menyesal bahwa ia telah menyuruh istrinya untuk mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha.
Orang ini mempunyai seorang kakak yang juga kaya. Kakaknya hanya mempunyai satu orang anak lelaki. Karena iri hati atas kekayaan kakaknya, ia telah membunuh keponakannya yang masih muda dan karenanya mewarisi secara tidak sah kekayaan kakaknya setelah meninggal dunia.
Karena orang tersebut telah mempersembahkan dana makanan pada Paccekabuddha ia menjadi orang kaya dalam kehidupannya sekarang. Karena ia menyesal telah mendanakan makanan pada Paccekabuddha maka ia tidak punya keinginan untuk membelanjakan apapun bahkan untuk dirinya sendiri. Karena ia telah membunuh keponakannya sendiri untuk mendapatkan kekayaan kakaknya ia telah menderita dalam alam neraka (niraya) selama tujuh kali kehidupan. Perbuatan buruknya telah berakhir sehingga ia terlahir kembali ke alam manusia. Tetapi di sini ia juga tidak melakukan perbuatan baik.
Raja kemudian berkata, "Bhante, meskipun ia telah hidup di sini dalam masa kehidupan seorang Buddha, ia tidak pernah mempersembahkan apapun kepada Sang Buddha maupun murid-muridNya. Sesungguhnya ia telah kehilangan kesempatan yang sangat baik, ia sangat bodoh".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 355 berikut:
Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak menghancurkan mereka yang mencari 'Pantai Seberang' (nibbana). Karena nafsu keinginan mendapatkan kekayaan, orang bodoh menghancurkan dirinya sendiri, dan juga akan menghancurkan orang lain.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Kisah Nangalakula Thera
Nangala adalah seorang buruh tani yang bekerja da seorang petani. Suatu hari seorang bhikkhu melihatnya sedang bekerja di sawah dengan pakaian tuanya yang koyak-koyak. Sang bhikkhu bertanya kepadanya apakah ia berminat menjadi seorang bhikkhu. Ketika ia menyetujui, sang bhikkhu membawanya ke vihara, dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Setelah diterima dalam Pasamuan Bhikkhu seperti yang telah dinasihatkan oleh gurunya, ia meninggalkan bajak dan pakaian tuanya pada sebuah pohon tidak jauh dari vihara. Karena orang miskin itu meninggalkan bajaknya untuk memasuki pasamuan, maka ia dikenal dengan nama Nangala Thera (nangala artinya bajak).
Kehidupan di vihara lebih baik, maka Nangala Thera menjadi lebih sehat, dan berat badannya bertambah. Setelah beberapa saat, ia merasa bosan dengan kehidupannya sebagai bhikkhu dan sering memikirkan untuk kembali menjadi perumah tangga.
Jika pikiran itu muncul, ia akan pergi ke pohon dekat vihara, di mana bajak dan pakaian tuanya ditaruh.
Di sana ia menegur dirinya sendiri, "O, orang tak tahu malu! Apakah kamu masih menginginkan kembali menggunakan pakaian tua ini dan bekerja keras, hidup rendah sebagai buruh kasar?"
Setelah berpikir seperti itu, ketidak-puasan terhadap kehidupan bhikkhunya menjadi sirna, dan ia kembali ke vihara. Ia pergi ke pohon itu setiap tiga atau empat hari, untuk merenungkan kembali tentang masa lalunya yang tidak menyenangkan.
Jika para bhikkhu bertanya kepadanya tentang seringnya ia berkunjung ke pohon itu, ia menjawab, "Saya pergi ke tempat guru saya".
Waktu berlalu, karena ketekunannya, akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia berhenti pergi ke pohon lagi.
Para bhikkhu lain memperhatikan hal itu, bertanya kepadanya, "Mengapa engkau sekarang tidak lagi berkunjung kepada gurumu?"
Kepada mereka, ia menjawab, "Saya pergi kepada guru saya karena saya memerlukannya, tetapi sekarang saya tidak memerlukan pergi kepadanya".
Para bhikkhu mengerti apa maksud jawabannya itu, mereka pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahu, "Bhante, Nangala Thera menyatakan diri telah mencapai tingkat kesucian arahat. Itu barangkali tidak benar; ia membual, ia berkata bohong".
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, jangan berkata seperti itu perihal Nangala, ia tidak berkata bohong. Anak-Ku Nangala, dengan introspeksi diri dan memperbaiki diri sendiri telah berhasil mencapai tingkat kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 379 dan 380 berikut ini:
Engkaulah yang harus mengingatkan dan memeriksa dirimu sendiri. O bhikkhu, bila engkau dapat menjaga dirimu sendiri dan selalu sadar, maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan.
Sesungguhnya diri sendiri menjadi tuan bagi diri sendiri. Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Oleh karena itu kendalikan dirimu sendiri, seperti pedagang kuda menguasai kuda yang baik.
***
--------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor), Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.
Sabtu, 19 Februari 2011
Candi Jago
Lokasi: Malang
Asal nama: Jajaghu
Tinggi candi: 9,97 m
Luas candi induk: 331,94 m2
Tahun pembuatan: Abad 13 M
Peninggalan: Kerajaan Kertanagara
Candi Jago berasal dari kata "Jajaghu", didirikan pada masa Kerajaan Singhasari di abad ke-13. Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari Kota Malang. Candi ini cukup unik, karena bagian atasnya hanya tersisa sebagian dan menurut cerita setempat karena tersambar petir. Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra dapat ditemui di candi ini. Sengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit.
Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti Manjusri. Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D. 214.
Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana. Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Candi ini mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Dan kemudian Adityawarman mendirikan candi tambahan dan menempatkan Arca Manjusri.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago
Candi Brahu
Lokasi: Jawa Timur
Asal nama: Wanaru atau Waharu (Bagus Arwana)
Tinggi candi: 20 m
Luas candi induk: 405 m2
Tahun pembuatan: Abad 15 M
Peninggalan: Kerajaan Majapahit
Candi Brahu merupakan salah satu candi yang terletak di Jawa Timur. Lokasi persisnya ada di Duku Jamu Mente, Desa Bejijong atau sekitar 2 kilometer dari jalan raya Mojokerto, Jombang. Candi Brahu dibangun dari batu bata merah, dibangun di atas sebidang tanah menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan punya ketinggian 20 meter.
Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Candi ini didirikan pada abad 15 Masehi namun terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan candi ini berusia jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan.
Menurut buku Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari candi brahu.
Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau 9 September 939, Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih-lebih setelah ada pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
Mengutip buku Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah Trowulan oleh Drs IG Bagus Arwana, dulu di sekitar candi ini banyak terdapat candi candi kecil yang sebagian sudah runtuh, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Saat penggalian dilakukan di sekitar candi, banyak ditemukan benda benda kuno macam alat alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca dan lain-lainnya.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Brahu
Candi Boyolangu (Candi Gayatri)
Lokasi: Jawa Timur
Asal nama: Boyolangu (nama desa tempat candi ini berada)
Luas candi induk: 129,96 m2
Tahun pembuatan: Abad 13 M
Peninggalan: Kerajaan Majapahit
Candi Boyolangu adalah sebuah candi yang berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Boyolangu, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Untuk memasuki percandian ini, harus melalui sebuah lorong selebar 2,5 m yang dibatasi tembok setinggi 75 cm dengan panjang sekitar 50 m.
Candi berbahan bata ini berdenah segi empat dengan tangga masuk di bagian barat. Candi yang tersisa baturnya saja itu berukuran 11,40 m x 11,40 m, dan ukuran penampil/ tangga masuknya adalah 2,68 m x 2,08 m. Secara horisontal, sisa bangunan itu terdiri atas sebuah candi induk dan dua candi perwara yang masing-masing berada di kiri-kanannya (utara dan selatan). Candi ini diketemukan kembali pada tahun 1914 dalam timbunan tanah.
Candi tampak berpusat pada tokoh utama berupa arca wanita berukuran besar yang diletakkan pada candi induk. Arca terebut berukuran tinggi 120 cm dengan lebar 168 cm dan tebal 140 cm. Saat ini arca tersebut ditempatkan di bawah naungan sebuah cungkup tanpa dinding. Tokoh wanita tersebut adalah Gayatri atau seorang pendeta wanita Buddha masa kerajaan Majapahit yang bergelar Rajapadmi. Tokoh tersebut adalah isteri ke empat Raja Wijaya pendiri kerajaan Majapahit.
Berdasarkan pada angka tahun yang terdapat pada bangunan induk dan Kitab Nagarakertagama bahwa candi Boyolangu dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 - 1389 M ) dengan nama Prajnyaparamitapuri.
Candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu Jenasah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan agama Buddha.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Boyolangu
Candi Mendut
Lokasi: Jawa Tengah
Asal nama: Mendut (nama desa tempat candi ini berada)
Luas candi induk: 187,69 m2
Tinggi candi induk: 26,4 m
Tahun pembuatan: Abad 8 M
Peninggalan: Kerajaan Mataram Kuno (Wangsa Syailendra)
Candi yang merupakan salah satu peninggalan agama Buddha ini didirikan oleh Raja Indra dari Wangsa Syailendra sekitar tahun 824 Masehi. Candi ini terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Candi terbesar kedua setelah Borobudur ini berjarak 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Borobudur.
Candi Mendut biasanya disajikan sebagai satu paket dengan Candi Borobudur dan Candi Pawon, baik untuk wisatawan mancanegara maupun domestik. Saat peringatan Hari Waisak, candi ini menjadi tempat berlangsungnya prosesi upacara yang pertama, yang kemudian dilanjutkan dengan upacara di Candi Pawon hingga berakhir di Candi Borobudur.
Keunikan Candi Mendut dibanding dengan candi-candi lainnya di pulau Jawa bahkan di Indonesia adalah pintu masuknya menghadap ke arah barat laut. Kebanyakan candi menghadap ke arah timur. Selain itu di bilik candi terdapat 3 arca besar yang terbuat dari bongkahan batu utuh. Ketiga arca ini adalah Arca Dhyani Buddha Sakyamuni yang menghadap ke arah barat dalam posisi duduk. Kedua kakinya menyiku ke bawah pada landasan teratai. Arca kedua adalah Arca Bodhisatva Avalokitesvara yang menghadap ke selatan. Arca ini dalam posisi duduk dengan kaki kiri dilipat ke dalam sedangkan kaki kanan menjulur ke bawah. Bodhisattva yang membantu manusia sambil memegang teratai merah di atas telapak tangannya. Arca terakhir adalah Arca Bodhisatva Vajrapani yang menghadap ke utara dengan posisi duduk pula. Kaki kanan dilipat ke dalam, sedangkan kaki kiri menjulur ke bawah. Vajrapani dan Avalokitesvara disebut-sebut sebagai pengiring atau pengawal Buddha Sakyamuni.
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.
Hiasan relief-relief pada Candi Mendut merupakan cerita berupa ajaran moral dengan menggunakan tokoh-tokoh binatang sebagai pemerannya. Terdapat cerita “Brahmana dan Kepiting”, “Angsa dan Kura-Kura”, “Dua Burung Betet yang berbeda” dan “Dharmabuddhi dan Dustabuddhi”. Relief brahmana dan kepiting menceritakan seorang brahmana yang menyelamatkan seekor kepiting. Kepiting ini kemudian membalas budi dengan menyelamatkan brahmana dari gangguan gagak dan ular.
Relief angsa dan kura-kura tentang seekor kura-kura yang diterbangkan dua ekor angsa ke danau. Namun kura-kura ini meras tersinggung dengan ucapan angsa. Kura-kura melepas gigitannya sehingga jatuh ke tanah dan mati. Dharmabuddhi dan Dustabuddhi bercerita tentang dua orang sahabat yang berbeda kelakuannya. Dustabuddhi memiliki sifat tercela suka menuduh Dharmabuddhi melakukan perbuatan tercela, namun akhirnya kejahatannya terbongkar dan Dustabuddhi pun dijatuhi hukuman. Relief terakhir bercerita tentang kelakuan dua burung betet yang sangat berbeda karena satunya dibesarkan oleh brahmana dan satunya lagi oleh seorang penyamun.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atap candi bertingkat tiga dihiasi stupa-stupa kecil. Jumlah stupa kecil 48 buah. Sedangkan tinggi bangunan 26,4 meter. Adapun luas bangunan secara keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 m2.
Kronologi Penemuan:
• 1836 – Ditemukan dan dibersihkan
• 1897 – 1904 kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
• 1908 – Diperbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun kembali.
• 1925 – sejumlah stupa disusun kembali.
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Mendut
Candi Muara Jambi
Lokasi: Jambi
Asal nama: Muara Jambi (nama desa tempat candi ini berada)
Peninggalan: Kerajaan Sriwijaya
Candi Muara Jambi diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya. Kompleks percandian yang pertama kali dilaporkan oleh Kapten S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris pada tahun 1820 ini merupakan kawasan buddhis pada zaman Sriwijaya. Situs ini terletak di desa Muaro Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muara Jambi, Jambi.
Candi ini sangat berbeda dengan candi umumnya yang ada di pulau Jawa. Candi ini tidak hanya terbuat dari batu alam, melainkan dari batu bata. Pada setiap lempeng batu bata ditemukan pahatan relief. Situs ini memiliki 61 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah. Selain bangunan, di dalam kompleks ini juga ditemukan arca Prajnyaparamita, Dewi Pengetahuan dalam system pantheon Buddha. Arca ini dibuat oleh seniman lokal, tetapi bergaya Singasari pada abad ke-13 Masehi. Di kerajaan Singasari sendiri arca yang dibuat memiliki postur tubuh yang agak gemuk. Namun pada arca gaya Singasari buatan orang Sumatera ini postur tubuhnya lebih langsing.
Selain arca itu, ditemukan pula gong perunggu dengan tulisan Cina, mantra buddhis yang ditulis pada kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga besar dari perunggu, mata uang Cina, manic-manik, bata-bata bertulis, bergambar dan bertanda, fragmen pecahan arca batu, batu mulia serta fragmen besi dan perunggu. Ditemukan pula gundukan tanah (bukit kecil) buatan manusia. Oleh masyarakat setempat bukit kecil itu diberi nama Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Candi_Muaro_Jambi
Candi Ngawen
CANDI NGAWEN
Lokasi: Jawa Tengah
Asal nama: Ngawen (nama desa tempat candi ini berada)
Tahun pembuatan: Abad 8 M
Peninggalan: Kerajaan Mataram Kuno (Wangsa Syailendra)
Candi yang terletak di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah ini merupakan salah satu candi yang bercorak Buddha. Sebuah prasasti, yaitu prasasti Karang Tengah yang berangka tahun 824 M mencantumkan keberadaan candi ini. Candi Ngawen dibangun pada masa pemerintahan Syailendra pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Candi yang berjarak kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta ini terdiri dari 5 buah candi kecil. Pada salah satu candi terdapat sebuah patung Buddha dalam posisi duduk Ratnasambawa, namun sudah tidak lengkap kepalanya. Pada dua candi lain dilengkapi dengan hiasan patung singa pada keempat sudutnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak jelas, yaitu relief Kinara-Kinari dan kala makara. Kelima bangunan candi ini diperuntukkan bagi kelima Dhyani Buddha dan memiliki pintu masuk yang menghadap arah timur. Istimewanya lagi, pada sisi timur dan barat candi ini terdapat Sungai Blongkeng dan Kali Kebo yang seolah-olah mengapit candi ini.
Candi ini pertama kali ditemukan pada 1864 oleh seorang Belanda bernama Hoepermans. Dalam perkembangannya, candi ini pernah direstorasi. Proses restorasinya selesai pada 1927. Hingga kini, tidak ada lagi usaha untuk merestorasi. Hal ini disebabkan banyaknya batu dan ornamen yang hilang atau tidak ditemukan sehingga pelaksanaan restorasi menjadi sulit. Selain itu, usaha untuk mereka-ulang candi ini juga belum berhasil.
Di sekeliling candi terdapat semacam selokan kecil yang masih berair dan mengandung belerang. Candi ini dilengkapi dengan sebuah taman agar menambah keasrian. Tidak jarang nampak angsa-angsa kecil yang sedang asyik bermain di dalam taman kompleks candi. Hal ini menambah pemandangan candi menjadi lebih segar dan mengasyikkan.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ngawen
http://hurahura.wordpress.com/2010/09/20/candi-ngawen-yang-unik-yang-terpinggirkan/
Candi Muara Takus
Lokasi: Riau
Asal nama: Muara Takus (nama desa tempat candi ini berada)
Luas tanah/kompleks: 5.476 m2
Selain Candi Muara Jambi, candi terkenal lainnya dari daerah Sumatera adalah Candi Muara Takus. Kompleks candi yang terlihat megah sampai sekarang ini terletak di desa Muara Takus, Kecamatan Koto Kampar berjarak kurang lebih 135 km dari kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 km dan tidak jauh dari pinggir sungai Kampar Kanan.
Candi Muara Takus adalah candi tertua di Sumatera yang terbuat dari tanah liat, tanah pasir, dan batu bata sementara candi yang ada di Jawa terbuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat candi ini, khususnya tanah liat, diambil dari desa Pongkai yang terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir kompleks Candi Muara Takus. Nama Pongkai berasal dari bahasa Cina Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, maksudnya adalah lubang tanah yang diakibatkan oleh penggalian untuk pembuatan candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian sekarang tidak dapat kita temukan lagi karena sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya. Di kompleks candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung, arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai, arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini berdasarkan konsep dari kebudayaan India yang dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan symbol dari kekuatan terang/baik.
Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang di kawasan ini.
Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar dengan sebuah bentukan menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Halaman candi ini berbentuk bujur sangkar (persegi) yang dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm. Di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat bangunan Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa serta Palangka. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus, merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhis ini merupakan bukti bahwa agama Buddha pernah berkembang di kawasan ini. Bangunan candi yang terdapat di kompleks Candi Muara Takus antara lain :
1. Candi Mahligai: candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda, dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Dahulu menurut DR. FM Snitger, pada keempat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.
2. Candi Sulung (Tua): yaitu candi terbesar di antara bangunan lainnya di kompleks Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.
3. Candi Bungsu: bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah Timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.
4. Candi Palangka: terletak di sisi Timur stupa mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.
Candi Muara Takus merupakan salah satu bangunan suci agama Budha yang ada di Riau. Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut merupakan bangunan agama Budha adalah stupa. Bentuk stupa sendiri berasal dari seni India awal, hampir merupakan anak bukit buatan yang berbentuk setengah lingkaran tertutup dengan bata atau timbunan dan diberi puncak meru. Stupa adalah ciri khas bangunan suci agama Budha dan berubah-ubah bentuk dan fungsinya dalam sejarahnya di India dan di dunia Budhisme lainnya.
Berdasarkan fungsinya stupa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Stupa yang merupakan bagian dari sesuatu bangunan.
2. Stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
3. Stupa yang menjadi pelengkap kelompok selaku candi perwara.
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa bangunan di kompleks Candi Muara Takus menduduki fungsi yang kedua, yaitu stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing sebagai bangunan lengkap.
Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘jahat’. Dalam ajaran agama Budha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Budha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Budha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Budha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Dalam naskah Silpa Prakasa dituliskan bahwa terdapat empat tipe singa yang dianggap baik, antara lain :
1. Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat ke belakang. Sikap ini disebut simhavalokana.
2. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat ke atas. Sering disebut khummana simha.
3. Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas raja gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut simha kunjara.
Di kompleks Candi Muara Takus sendiri terdapat dua candi yang memiliki patung singa, yaitu Candi Sulung dan Candi Mahligai. Di Candi Sulung arca singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Di Candi Mahligai arca singa ditemukan di keempat sudut pondasinya. Penempatan patung singa ini, berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India, dimaksudkan untuk menjaga bangunan suci dari pengaruh jahat karena singa merupakan simbol dari kekuatan terang atau baik.
Berdasarkan penelitian R.D.M. Verbeck dan E. Th. van Delden diduga bahwa bangunan Candi Muara Takus dahulunya merupakan bangunan Buddhis yang terdiri dari biara dan beberapa candi.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Muara_Takus
Candi Plaosan
Lokasi: Jawa Tengah
Asal nama: Plaosan (nama dukuh tempat candi itu berada)
Tinggi candi induk: 21 m
Tahun pembuatan: Abad 9 M
Peninggalan: Kerajaan Medang/Mataram Kuno
Candi yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini sangat unik. Candi utamanya kembar, disebut Plaosan Lor dan Plaosan Kidul. Candi Plaosan terletak kira-kira 1,5 km di timur Candi Sewu, tidak jauh dari Candi Prambanan, hanya sekitar 3 km di timur laut. Candi Plaosan dibangun oleh ratu bergelar Sri Kahulunan yang beragama Buddha dan dalam pembangunan candi perwaranya dibantu oleh suaminya Rakai Pikatan. Sri Kahulunan adalah gelar yang disandang Pramudyawardhani setelah menggantikan kedudukan ayahnya Raja Samaratungga.
Candi Plaosan Lor terdiri dari dua candi utama setinggi 21 meter yang terletak berdampingan di sebelah utara dan selatan. Panjang tembok yang mengelilingi candi sepanjang 50 meter dan lebar 14 meter. Di tembok ini terdapat gambar Bodhisatva, Kinara dan beberapa dewi. Candi induk selatan mengalami pemugaran pada tahun 1960 sehingga masih tampak utuh namun candi induk utara dalam keadaan rusak/runtuh. Keindahan candi Plaosan Lor adalah bentuk bangunannnya yang bertingkat dimana terdapat 3 ruangan. Di ruangan lantai bawah terdapat patung Buddha yang terbuat dari tembaga tetapi sekarang sudah hilang, yang dikelilingi oleh dua patung Bodhisatva. Disamping itu, kompleks candi ini memiliki ukiran relief yang sangat detail dan rumit sehingga memancarkan nilai artistic yang mengagumkan. Badan candi yang reliefnya masih terawatt dengan bersih seperti bersinar saat tersorot sinar matahari. Sedangkan candi Plaosan Kidul terdiri dari dua bangunan utama, yaitu Kala Makara dan pintu masuk. Sebagian dari kala makara didekorasi dengan antefiks. Adapun pintu masuk dihiasi dengan motif tumbuh-tumbuhan. Secara keseluruhan kompleks candi Plaosan memiliki 116 stupa perwara dan 50 candi perwara. Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara agama Buddha dan Hindu. Hal ini menunjukkan keselarasan dan keharmonisan umat beragama pada masa itu.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Plaosan
Jumat, 18 Februari 2011
Candi Ratu Boko
Lokasi: Yogyakarta
Arti nama: “Raja Bangau” (nama ayah dari Roro Jonggrang)
Luas kompleks: 250.000 m2
Tahun pembuatan: Abad 8 M
Peninggalan: Kerajaan Mataram Kuno (Wangsa Syailendra)
Candi Ratu Boko terletak sekitar 2 km dari Candi Prambanan dan sekitar 19 km kea rah timur dari kota Yogyakarta (menuju arah Wonosari). Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Boko (Raja Bangau) adalah ayah dari Roro Jonggrang, candi utama pada kompleks Candi Prambanan.
Pemandangan di sekitar candi sangatlah indah. Ke arah selatan samar-samar terlihat pantai selatan dan ke arah utara terlihat gunung merapi. Candi Prambanan dan Candi Kalasan dapat terlihat dengan jelas dari candi ini. dari pintu utama yang telah direnovasi kea rah kanan, terlihat sisa bangunan istana yang telah direstorasi. Di sebelah kiri bekas bangunan istana ini terdapat kolam yang dulunya dipakai untuk mandi para wanita kerajaan.
Candi ini memiliki beberapa keistimewaan, yaitu situs Ratu Boko merupakan kompleks istana yang megah, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung. Berbeda dengan peninggalan zaman Jawa Kuno yang umumnya berupa bangunan keagamaan. Situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Padahal keratin lain di Jawa umumnya didirikan di daerah yang relatif landai. Posisi di atas bukit memberikan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi para penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks ini lebih sulit untuk diserang.
Candi seluas 250.000 m2 ini dibangun abad ke-8 pada pemerintahan Rakai Penangkaran dari Wangsa Syailendra. Istana ini pada awalnya bernama Abhayagiri Vihara yang berarti biara di atas bukit yang penuh kedamaian. Bangunan ini dibuat sebagai tempat menyepi dan bermeditasi. Aura keindahan dan ketenangan langsung dapat Anda rasakan jika menyambangi tempat ini.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan situs peninggalan Ratu Boko dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Oleh karena itu, sekarang baik Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko dikelola dalam suatu pengelolaan BUMN. Sebagai hasilnya, kini situs Ratu Boko ditata ulang untuk dijadikan tempat pendidikan dan budaya. Dibangunlah sebuah tempat pertemuan yang mampu menampung sekitar 500 orang. Selain itu, pengelola juga menyediakan tempat perkemahan dan trekking, paket edukatif arkeologi serta pemandu wisata. Beberapa paket wisata tersebut adalah Boko Camping, Boko Ekskavasi, Boko Konservasi, Boko Restoran, Boko Sunset, dan Boko Tracking.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Ratu_Baka
Candi Sewu
Lokasi: Yogyakarta
Arti nama: “Seribu”
Luas candi induk: 1.640 m2
Luas tanah/kompleks: 30.525 m2
Tahun pembuatan: Abad 8 M
Peninggalan: Kerajaan Mataram Kuno
Nama candi ini berasal dari bahasa Jawa yaitu “sewu” yang artinya adalah seribu. Namun hal ini bukan berarti jumlah candi ini ada seribu buah, melainkan penamaan ini berdasarkan kisah Roro Jonggrang pada Candi Prambanan. Kompleks Candi Sewu adalah sekumpulan candi Buddha di kawasan sekitar Prambanan. Berdiri di atas lahan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang 185 meter dan dari timur ke barat sejauh 165 meter. Tidak heran kompleks candi ini disebut-sebut sebagai yang terbesar kedua setelah Candi Borobudur.
Candi Buddha yang aslinya memiliki 249 candi ini memiliki usia yang lebih tua daripada candi Prambanan, tepatnya dibangun pada abad ke-8 pada masa pemerintahan Raja Panangkaran dari Mataram Kuno. Di tiap pintu masuk dijumpai sepasang arca dwalapala yang bertugas sebagai penjaga pintu gerbang candi. Bangunan candi Sewu apabila dilihat dengan seksama maka terlihat membentuk pola mandala, suatu perwujudan alam semesta dalam ajaran Buddha Mahayana.
Kompleks candi Sewu terbagi dalam tiga halaman. Candi induk terletak pada halaman pertama dan memiliki ukuran 40 x 41 meter. Pada candi induk terdapat bilik utama dan bilik penampil. Masing-masing bilik penampil memiliki pintu masuk menuju bilik utama. Pada halaman kedua ditempati oleh delapan candi apit dan 240 buah candi perwara. Ada suatu keunikan disini, candi perwara disusun dalam suatu pola tertentu yang membentuk persegi panjang yang kosentris. Deret pertama ditempati 2 bangunan candi.diikuti 44 bangunan pada deret kedua dan 80 bangunan pada deret ketiga. Sedangkan pada deret terakhir tersebar 88 candi. Candi apit diletakkan di antara deret kedua dan ketiga candi perwara. Sepasang pada masing-masing penjuru mata angin. Candi perwara pada deretan pertama, kedua, dan keempat membelakangi candi induk. Sedangkan deret ketiga menghadap candi induk. Sungguh suatu maha karya yang luar biasa, mengingat candi ini dibangun oleh nenek moyang kita yang masih minim pendidikannya, namun dapat menghasilkan sebuah karya yang indah, detail dan rumit seperti yang terdapat dalam candi Sewu ini.
Secara vertical bangunan candi terbagi menjadi tiga: atap, tubuh dan kaki candi. Candi ini memiliki sembilan atap yang terdiri dari empat atap penampil, empat atap lorong dan sebuah atap bilik utama. Semua puncak atap berbentuk stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha. Atap bilik utama adalah atap yang paling besar dan paling tinggi karena terdiri dari tiga tingkatan. Terdapat hiasan-hiasan yang berupa relung-relung dan antefiks-antefiks dengan motif dewa-dewi.
Tubuh candi terdiri dari satu bangunan tengah, empat lorong, empat selasar dan empat penampil. Di dalam bilik tengah terdapat sebuah asana lengkap dengan sandarannya yang merapat ke dinding barat ruangan. Asana ini dahulu diisi Arca Manjusri setinggi kurang lebih 3,6 meter. Hiasan-hiasan yang ada di tubuh candi antara lain kala makara pada ambang pintu. Relief dewa yang duduk dalam posisi vajrasana, dan kepalanya dikelilingi rangkaian api (sirachakra). Kaki candi dihiasi relief motif purnakalasa atau hiasan jambangan bunga. Ada pula arca singa pada setiap sudut pertemuan antara kaki dan struktur tangga.
Candi Pawon
CANDI PAWON
Lokasi: Jawa Tengah
Arti nama: Dapur (Jawa), Perabuan (Casparis)
Nama lain: Brajanalan (api halilintar)
Tahun pembuatan: Abad 8-9 M
Peninggalan: Dinasti Syailendra
Siapa yang belum pernah mendengar rangkaian tiga candi Buddha terkenal, Mendut-Pawon-Borobudur. Tentu hampir seluruh masyarakat sudah pernah mengunjungi atau hanya sekedar mendengar kesohoran ketiga candi ini. Candi Pawon memang lebih kecil dibandingkan Candi Borobudur maupun Mendut. Namun bangunan ini sebenarnya memiliki keindahan yang tidak kalah menarik dengan kedua kakaknya.
Candi yang dikenal juga sebagai Candi Brajanalan ini terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tepatnya sekitar 1750 meter dari Candi Borobudur ke arah timur dan 1150 meter kea rah barat dari Candi Mendut. Kata Brajanalan berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata ‘vajra’ yang berarti halilintar dan ‘anala’ yang berarti api. Menurut mitologi India, Dewa Indra memiliki sebuah senjata yang dinamai Vajranala dan senjata itulah yang disimpan di Candi Pawon.
Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur, akan tetapi De Casparis mengartikan perabuan.
Candi Pawon berada di atas teras. Sebelum menginjak ke atas teras kita harus melewati tangga yang agak lebar terlebih dahulu. Dinding-dinding candi dihiasi relief pohon kalpataru yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari. Banyak pakar berpendapat bahwa Candi Pawon merupakan bagian dari Candi Borobudur. Hal ini didasarkan pada relief-relief yang terdapat pada Candi Pawon yang merupakan permulaan relief Candi Borobudur.
Sumber:
Jelajah Candi Nusantara
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Pawon
Candi Sumberawan
Lokasi: Malang
Arti nama: “Rawan” karena dekat telaga/rawa yang sangat bening airnya
Luas candi induk: 39 m2
Tinggi candi induk: 5,23 m
Tahun pembuatan: Abad 14 M
Peninggalan: Kerajaan Singasari
Candi ini terletak di kaki Gunung Arjuna pada ketinggian 650 meter dpl. Berjarak sekitar 5 km dari kota Malang ke arah barat laut. Candi ini merupakan peninggalan kerajaan Singasari dan hanya berjarak sekitar 6 km dari Candi Singasari. Untuk mencapai candi ini kita harus berjalan kaki karena jalan setapaknya yang cukup sempit. Namun jangan khawatir karena semua rasa lelah itu akan terbayar dengan keindahan pemandangan Gunung Arjuna yang menawan serta pepohonan yang meneduhkan.
Candi ini disebut juga Candi Rawan karena terletak di tepi rawa yang mata airnya selalu mengalir sepanjang tahun. Secara bentuk, candi ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6,25 x 6,25 meter dan tinggi 5,23 meter. Candi ini terbuat dari batu andesit. Bangunan atap candi berupa stupa sederhana dan konon dibangun untuk menghormati raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit yang berkunjung ke daerah itu pada tahun 1359.
Para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, sebuah nama yang terkenal dalam kitab Negarakertagama. Dengan adanya stupa menunjukkan bahwa candi ini merupakan candi buddhis dan dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batu dan stupa dapat diperkirakan bahwa candi ini dibangun sekitar abad 14 sampai 15 Masehi.
Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904. Pada tahun 1935 diadakan kunjungan oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1937 diadakan pemugaran pada bagian kaki candi, sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Batur candi berdenah bujur sangkar, tidak memiliki tangga naik dan polos tidak berelief. Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang. Karena ada beberapa kesulitan dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh candi, maka terpaksa bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali. Candi Sumberawan tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci. Jadi, hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya. Diperkirakan candi ini dahulu memang didirikannya untuk pemujaan.
Suasana yang teduh dan tenang di sekitar candi ini menjadikan tempat ini cocok untuk melakukan meditasi.